MAKALAH HUKUM AGRARIA, Analisis Kasus Sengketa Tanah Antara TNI-AD dengan Masyarakat Urutsewu, Kebumen, Jawa Tengah



MAKALAH HUKUM AGRARIA

Analisis Kasus Sengketa Tanah Antara TNI-AD dengan Masyarakat Urutsewu, Kebumen, Jawa Tengah

Dosen : Supriyanto, SH,. M.H





Dibuat untuk memenuhi salah satu persyaratan dalam memperoleh nilai mata kuliah Hukum Agraria

Disusun oleh :
    Nama        : Wiji Nurfi Utami
    NIM          : E1A013151
    Kelas         : Gabungan



KEMENTERIAN RISET TEKNOLOGI DAN PERGURUAN TINGGI
UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN
FAKULTAS HUKUM
PURWOKERTO
2016


  
KATA PENGANTAR

Assalamu’alaikum Wr.Wb.
Pertama-tama marilah kita ucapkan puji syukur kehadirat Allah SWT atas berkat rahmat-Nya makalah ini dapat diselesaikan dengan baik dan tepat waktu.
Makalah ini tidak luput dari bimbingan Dosen Hukum Agraria serta tuntutan untuk memenuhi tugas terstruktur mata kuliah ini.
Penulis menyadari bahwa makalah ini jauh dari kesempurnaan, maka mohon maaf atas segala kesalahan dan kekurangan dalam penyusunan makalah ini. Untuk itu penulis tidak menutup kemungkinan untuk menerima berbagai saran dan kritik yang membangun sebagai bahan pertimbangan dan perbaikan dimasa mendatang.

Wassalamu’alaikum Wr.Wb


Purwokerto, 20 Maret 2016


        Penyusun






BAB 1
PENDAHULUAN

1.1.  Latar Belakang
Hak atas tanah adalah hak atas sebagian tertentu permukaan bumi yang berbatas, karenanya hak atas tanah bukan saja memberikan wewenang untuk mempergunakan sebagian tertentu permukaan bumi yang disebut tanah. Tetapi juga sebagian tubuh bumi yang dibawahnya dan air serta ruang yang ada diatasnya dengan pembatasan. Tetapi tubuh bumi dibawah tanah dan ruang angkasa yang ada di atsanya sendiri bukan merupakan obyek hak atas tanah. Bukan termasuk obyek yang dipunyai pemegang hak atas tanah. Hak atas tanah yang berlaku di Indonesia saat ini merupakan salah satu hal yang diatur dalam Hukum Agraria dan didasarkan pada keberadaan hukum adat.  
Perbuatan hukum pemindahan hak atas tanah, berarti hak atas tanah yang bersangkutan sengaja dialihkan kepada pihak lain. Adapun bentuk pemindahan hak atas tanah adalah dengan Jual Beli; Hibah; Wakaf; dan Hibah wasiat. Perbuatan-perbuatan hukum tersebut kecuali hibah wasiat, dilakukan pada waktu pemegang haknya masih hidup dan merupakan perbuatan hukum pemindahan hak yang bersifat tunai. Artinya, bahwa dengan dilakukanya perbuatan hukum tersebut, hak atas tanah yang bersangkutan berpindah kepada pihak lain.
Pada kenyataannya banyak sekali kasus sengketa tanah yang terjadi, diantaranya karena tidak mengantongi bukti kuat atas kepemilikan tanah. Oleh karenanya tidak sembarangan bagi siapapun dalam penguasaan tanah, pemiliknya sekalipun wajib memelihara dan memanfaatkannya hanya sesuai kebutuhan tanpa merugikan pihak lain dan tidak secara berlebihan menggunakannya.
1.2.  Rumusan Masalah
  1. Bagaimana peralihan Hak Atas Tanah di Indonesia ?
  2. Bagaimana penyelesaian sengketa tanah antara TNI-AD dengan masyarakat Urutsewu, Kabupaten Kebumen, Provinsi Jawa Tengah ?
1.3.  Tujuan
  1. Mengetahui bagaimana peralihan Hak Atas Tanah di Indonesia.
  2. Mengetahui bagaimana penyelesaian kasus sengketa tanah antara TNI-AD dengan masyarakat, Urutsewu, Kabupaten Kebumen, Provinsi Jawa Tengah.

BAB II
PEMBAHASAN

2.1    Peralihan Hak Atas Tanah
Peralihan menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah memindahkan, sedangkan hak berarti benar.[1] Peralihan Hak Atas Tanah adalah memindahkan atau beralihnya penguasaan tanah yang semula milik sekelompok masyarakat ke masyarakat lainnya.
Peralihan tersebut dapat dilakukan dengan cara menukar/memindahkan tanah. Penguasaan yuridis dilandasi hak yang dilindungi oleh hukum dan umumnya memberi kewenangan kepada pemegang hak untuk menguasai secara fisik tanah yang dihaki. Namun ada juga penguasaan yuridis yang walaupun memberi kewenangan untuk menguasai tanah yang dihaki secara fisik, pada kenyataannya penguasaan fisiknya dilakukan oleh pihak lain.
Perbuatan hukum pemindahan hak bertujuan untuk memindahkan Hak Atas Tanah kepada pihak lain untuk selama-lamanya (dalam hal ini subyek hukumnya memenuhi syarat sebagai pemegang Hak Atas Tanah).[2]
Sebelum UUPA
1.    Zaman Sebelum Kemerdekaan
Pada zaman Kolonial Belanda, dalam Pasal 131 Indische Staatsregeling (IS) digambarkan adanya sistem hukum yang pluralistik karena diberlakukan hukum adat, hukum Perdata mapun hukum Pidana formil dan materiil. Dengan kata lain di Hindia Belanda pada waktu berlaku bersama-sama hukum adat dan hukum Barat.[3]
Hukum pertanahan yang berlaku pada saat zaman Pemerintahan Pendudukan Jepang adalah seperti hukum yang berlaku pada saat zaman Kolonial Belanda. Terhadap tanah hak Barat berlaku ketentuan hukum tanah Barat (termasuk Jepang), dan terhadap tanah adat berlaku hukum tanah Adat (bagi Pribumi). Dengan kata lain, Pemerintah Penduduk Jepang tidak pernah mengadakan perubahan-perubahan dibidang Hukum Perdata (termasuk huku tanah) dan mempertahankan Hukum Perdata yang berlaku pada saat sebelum pendudukanya di Indonesia, yaitu terdiri dari Hukum Barat dan Hkum Adat termasuk dalam hal ini tentang prosedur peralihan hak atas tanahnya.[4]

2.    Zaman Setelah Kemerdekaan dan Sebelum UUPA Diundangkan
Di dalam tata hukum Indonesia sebelum berlakunya UUPA, hukum agrarian meliputi kaidah-kaidah hukum yang beraneka macam. Kaidah-kaidah tersebut dapat dibicarakan sebagai satu rangkaian yang merupakan satu bidang hukum yang beridiri sendiri, yaitu hukum agrarian. Pertama, karena kaidah-kaidah itu mempunyai obyek yang sama, yaitu bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya. Kedua, membicarakan kaidah-kaidah tersebut sebagai satu kesatuan akan memepermudah orang memepelajarinya.[5]
Dalam ketentuan Pasal 20 (2) UUPA hanya dijelaskan bahwa Hak Milik dapat beralih dan diperalihkan. Dalam ketentuan Pasal 20 beralih dalam hal ini ialah termasuk perbuatan-perbuatan hukum yang disengaja untuk memindahkan hak atas tanah kepada pihak lain antara lain melalui jual beli, hibah, wasiat, tukar menukar, warisan, wakaf, penyerahan secara sukarela dan lainya. Pemindahan hak atas tanah menyebabkan hak atas tanah menyebabkan hak atas tanah beralih dari seseorang kepada orang lain. Sehingga pemindahan hak atas tanah adalah perbuatan hukum yang disengaja dilakukan dengan tujuan agar hak atas tanah berpindah dari yang mengalihkan kepada yang menerima pengalihan.[6]
Peraturan pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 mengatur bahwa perjanjian yang menyangkut peralihan hak atas tanah seharusnya dilakukan di depan Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT). PPAT adalah pejabat umum yang diangkat oleh Kepala BPN dan berwenang membuat akta peralihan hak atas tanah termasuk jual beli tanah. Jika di daerah setempat belum ada PPAT maka kewenangan sementara dilimpahkan kepada camat setempat.[7]
Jenis-Jenis Peralihan Hak Atas Tanah
1)        Pewarisan Tanpa Wasiat
Menurut Pasal 833 KUHPerdata para ahli waris secara otomatis mewarisi hak milik atas segala barang, segala hak dan segala piutang si yang meninggal. Ini artinya, secara otomatis pewaris mewarisi tanah milik si meninggal sekalipun tanpa wasiat.[8]
2)        Pemindahan Hak
Berbeda dengan peralihan hak karena pemegang hak meninggal namun dalam hal ini sengaja dialihkan kepada porang lain, bentuk pemindahannya berupa :
  1. Pewarisan dari ayah atau ibu kepada anak, dari kakek-nenek kepada cucu, dari kakak kepada adik atau sebaliknya;
  2. Hibah;
  3. Jual beli;
  4. Tukar menukar antara bidang tanah yang satu dengan bidang tanah lain;
  5. Pembagian Hak Atas Tanah bersama, bisa jadi sebelumnya hanya didaftarkan dengan beberapa perwakilan dan demi kepastian hukum dilakukan pembagian rata;
  6. Pemasukan menjadi tanah perseroan;
  7. Pelepasan hak karena akan dialihkan kepada suatu badan hukum;
  8. Lelang, jika sulit ditemukan pembeli;
  9. Pengalihan karena penggabungan atau peleburan perseroan
Pengalihan tanah harus didaftarkan pada Kantor Pertanahan setempat letak tanah tersebut berada dengan yujuan :
  1. Mendapatkan kepastian dan perlindungan hukum;
  2. Menyediakan informasi kepada pihak berkepentingan;
  3. Terselenggaranya tertib administrasi pertanahan.[9]
2.2.  Penyelesaian Sengketa Tanah Antara TNI-AD dengan Masyarakat Urutsewu, Kabupaten Kebumen, Provinsi Jawa Tengah
Kronologi :
Beberapa warga sekitar Pantai Urut Sewu, Desa Setrojenar, Kecamatan Bulus Pesantren, Kebumen, Jawa Tengah, terlibat bentrok dengan beberapa personel Tentara Nasional Indonesia (TNI), pada Sabtu siang, 16 April 2011. Hal tersebut, terpicu karena adanya blokade warga terhadap latihan militer yang akan dilakukan TNI di lahan sekitar pantai. Insiden tersebut diawali blokade jalan yang dilakukan warga dengan menggunakan batang-batang kayu, lalu kemudian pihak TNI mencoba menyingkirkan kayu-kayu yang memblokade jalan tersebut.
Menurut Kepala Penerangan Kodam (Kependam) IV Diponegoro, Letkol Zaenal Mutaqin, bentrokan antara TNI dan warga terjadi akibat ulah provokator yang memancing warga memblokade jalan masuk ke kawasan Dinas Penelitian dan Pengembangan (Dislitbang) TNI AD di Pantai Urut Sewu, Setrojenar. Sebenarnya, sebelumnya telah ada kesepakatan bahwa pihak TNI akan menghentikan sementara latihan militer di desa tersebut. Hal ini tidak menjadi masalah sampai adanya aksi blokade jalan yang diprovokasi oleh oknum yang kurang bertanggung jawab.
Pihak TNI sudah melakukan pertemuan dengan tokoh warga desa Setrojenar, dan meminta ijin untuk melakukan uji coba meriam dari Korea, tetapi para tokoh dan warga desa tersebut menolak memberi ijin dan akhirnya pihak TNI pun membatalkan ujicoba. Bahkan pelatihan ujicoba meriam dari Korea akan dipindahkan ke Lumajang, Jawa Timur, dan latihan militer digelar di Desa Ambalresmi, Kecamatan Ambal, Kebumen, Jawa Tengah, yang berjarak enam kilometer dari Desa Setrojenar. Namun, tiba-tiba warga Desa Setrojenar malah memblokade jalan- jalan masuk ke kawasan Dinas Penelitian dan Pengembangan (Dislitbang) TNI AD di Pantai Urut Sewu. Warga juga membawa berbagai senjata tajam seperti pedang, clurit, dan bambu runcing, bahkan ada warga yang menghancurkan gapura dan gudang amunisi di Dislitbang milik TNI AD. Mau tidak mau akhirnya para anggota TNI yang berjaga mengambil tindakan membela diri dan meredam aksi warga tersebut dengan menggunakan peluru hampa dan karet.
Pembelaan yang di lakukan anggota TNI ini sudah sesuai prosedur, yakni menembakan peluru hampa terlebih dahulu sebelum menggunakan peluru karet. Sementara itu, hal yang patut dipertanyakan adalah mengapa bentrokan itu bisa terjadi, padahal sebelumnya warga tidak pernah menghalangi adanya latihan militer di Desa Setrojenar. Sedang pelatihan militer tersebut sudah dilangsungkan sejak tahun 1949an. Sudah jelas bahwa hal ini berarti ada oknum-oknum yang memprovokasi warga.
Setelah aksi bentrok tersebut, beberapa warga terluka dan dilarikan ke Rumah Sakit Umum Daerah Kebumen, Puskesmas terdekat, dan PKU Sruweng maupun PKU Gombong yang berjarak sepuluh kilometer dari desa tersebut. Diduga belasan orang diantaranya terkena peluru yang dilepaskan anggota TNI.
Untuk menengahi kasus ini, Kepolisian Daerah Jawa Tengah mengirimkan satu Satuan Setingkat Kompi (SSK) atau sekitar 1000 personil untuk membantu mengamankan situasi pasca bentrok antara TNI dengan puluhan warga Pantai Urut Sewu, Setrojenar. Satuan tersebut terdiri dari Brigade Mobil, Reserse, Intelijen, dan Divisi Program. Ada juga pihak Pemda dan Satpol PP yang ikut serta mengamankan situasi. Selanjutnya, Komando Daerah Militer (Kodam) IV Diponegoro juga menarik pasukan penjaga penjaga di Dinas Penelitian dan Pengembangan (Dislitbang) TNI AD di Pantai Urut Sewu. Hal ini dilakukan untuk mencegah bentrokan susulan yang mungkin kembali terjadi, karena kedua belah pihak masih saling emosi dengan jatuhnya korban baik di pihak TNI maupun warga. Mereka ditarik dan diganti personil dari Kodim, serta dibantu Bintara Pembina Desa (Babinsa) wilayah Desa Setrojenar.
Penolakan atas rencana TNI untuk ujicoba meriam tersebut bermula dari klaim warga atas lahan latihan militer TNI di Desa Setrojenar. Padahal sudah sejak tahun 1949 TNI memakai lahan itu. TNI juga membolehkan masyarakat Pantai Urut Sewu, Desa Setrojenar menggarap tanah itu. Jadi selain latihan militer, TNI mengizinkan warga menanam palawija atau apapun di lahan tersebut. Warga sudah turun-temurun menggarap lahan itu. Sebetulnya warga paham betul bahwa lahan tersebut bukan milik mereka, dan mereka hanya memakai lahan tersebut sebagai tanah garapan saja.  Hanya saja terdapat beberapa pihak yang mengaku bahwa tanah tersebut milik mereka, dan merupakan tanah yang bersertifikat dan dikenai pajak. Selain itu, masyarakat daerah Urut Sewu itu juga memiliki saksi sejarah yang mengetahui tentang keberadaan tanah di Urut Sewu sejak lama.
Sebaliknya, TNI mengaku bahwa tanah tersebut milik TNI dengan bukti SH No 4/1994, dimana dasar hukum kepemilikan lahan itu adalah penyerahan tanah oleh KNL pada tanggal 25 Juni 1950, dan Keppres No 4/1960 tentang semua rampasan perang yang dikuasai Negara dan dibagi-bagi sesuai departemennya. Dasar hukum lain berupa Berita Acara Rekonsiliasi Barang Milik Negara pada Denzibang 1/IV Yogyakarta nomor: 012.22.035.044E02.000.KP dan periode semester II tahun anggaran 2010 No: BA.SMT2-002.TNI/WKN.09/KNL.06/2011, telah dilakukan inventarisasi dan penilaian oleh Kantor Pelayanan Kekayaan Negara dan Lelang (KPKNL) Yogyakarta.
Dan berdasarkan surat keterangan Kabupaten Kebumen, tanah tersebut adalah tanah negara yang dikuasai TNI AD dan bukan merupakan lahan sengketa. Kolonel Hartind Astrin yang pernah memimpin pasukan untuk latihan di wilayah Kebumen mengatakan, diatas tanah itu sedari dulu sudah digunakan untuk latihan militer. Biasanya dipakai untuk tembak lengkung, tembak datar, dan tembakan mortar dan artileri medan.
Dalam menanggapi persoalan ini, Sekjen Kementrian Pertahanan Marsdya TNI Eris Herryanto mengatakan bahwa persoalan ini telah dibicarakan dan dimusyawarahkan bersama dengan Badan Pertahanan Nasional (BPN), dengan membentuk tiga tim. Tim pertama, mengurus orang-orang yang memiliki lahan sengketa. Tim kedua adalah tim yang akan mensertifikati tanah tersebut. Dan tim ketiga adalah tim yang bertanggungjawab mengenai hal-hal yang bersifat strategis.
TEMPO.CO, Jakarta: Kepala Bidang Hubungan Masyarakat Badan Pertanahan Nasional, Gunawan Muhammad mengatakan sengketa lahan di kawasan Urut Sewu tak akan terjadi jika pemilik lahan mengingatkan status kepemilikan mereka kepada pihak yang menggunakan lahan tersebut. “Karena jika tidak, maka seolah-olah itu tanah mereka,” ujarnya ketika dihubungi, Sabtu, 22 Agustus 2015.
Konflik lahan di kawasan Urut Sewu, Kebumen Jawa Tengah, kembali meledak. Insiden bermula dari penolakan warga sekitar terhadap upaya pemagaran yang dilakukan TNI sepanjang 22,5 kilometer lahan pesisir yang masih dalam status sengketa. Sedikitnya empat warga luka berat dan 15 lainnya luka ringan akibat bentrokan tersebut. Yang luka berat dirawat di Puskesmas Kecamatan Mirit.
Gunawan mengaku tak bisa menentukan otentisitas alas kepemilikan di antara pihak yang mengklaim lahan tersebut. Dalam banyak kasus, kata dia, konflik lahan kerap dipicu oleh penelantaran fungsi lahan. Penelantaran itu membuka peluang bagi orang lain untuk menguasai lahan tersebut.
Untuk lahan yang dikuasai Negara, kata Gunawan, lahan tersebut sedianya sudah diinventarisir oleh Kementerian Keuangan. Namun tak semua lahan tersebut telah tersertifikasi. “Meski belum bersertifikat, lembaga yang diberi mandat menggunakan lahan tersebut tidak boleh melepaskan hak kepemilikan kepada orang lain. Karena itu bisa beresiko hukum,” katanya.
 “Kewajiban pemilik lahan adalah menjaga, memelihara, dan menggunakan sesuai peruntukannya. Jika tidak, lahan mereka bisa digunakan orang lain,” ujarnya. “Ini terlepas dari alas bukti kepemilikan,”[10]
Analisis :
a.        Penyebab
Pada tahun 1982 TNI AD meminjam tempat untuk Latihan selain itu juga untuk Melakukan Uji Coba Senjata Berat. TNI kemudian membuat surat “tempat untuk latihan” kepada kepala desa setempat. Namun seiring dengan berjalannya waktu, “pinjam tempat” tidak lagi dilakukan, dan hanya memberikan surat pemberitahuan ketika latihan. Kemudian TNI “meminjam” lagi tanah Urut Sewu mulai dari tahun 1998 sampai 2009 ke Pemerintah Kabupaten Kebumen.
b.        Pemicu
Pada 16 April 2011 warga menolak latihan uji coba senjata TNI-AD dengan berziarah ke makam salah satu warga yang meninggal akibat kena bom mortar beberapa tahun sebelumnya dan meblokade jalan dengan pohon, namun blokade tersebut dibongkar oleh TNI. Melihat blokade dibongkar oleh TNI, warga kembali memblokade jalan dengan kayu, merobohkan gerbang TNI dan merusak bekas gudang amunisi TNI yang berdiri di lahan milik warga. Tindakan warga tersebut kembali direspon oleh TNI dengan balik menyerang warga masyarakat kemudian merusak belasan sepeda motor, merebut ponsel, alat perekam video milik masyarakat kemudian memusnahkan barang-barang tersebut. Dalam konflik ini beberapa warga jadi korban luka-luka, ada yang tertembus peluru karet dan enam warga yang jadi tersangka (dijatuhi pasal tentang pengrusakan dan penganiayaan).
c.         Pelaku
1.    TNI- AD
TNI AD adalah bagian dari Tentara Nasional Indonesia berperan sebagai alat Negara di bidang pertahanan di darat yang dalam menjalakan tugasnya berdasarkan kebijakan dan keputusan politik Negara. Diantaranya sebagai berikut :
  1. Penangkal terhadap setiap bentuk ancaman militer dan ancaman bersenjata dari luar dan dalam negeri terhadap kedaulatan, keutuhan wilayah, dan keselamatan bangsa;
  2. Penindak terhadap setiap bentuk ancaman sebagaimana dimaksud di atas;
  3. Pemulih terhadap kondisi keamanan Negara di darat yang terganggu akibat kekacauan keamanan.
2.    Masyarakat Urut Sewu
Urut Sewu menjadi wilayah yang sangat subur untuk pertanian. Masyarakat sekitar sangat menggantungkan hidupnya pada pertanian dan peternakan. Ketergantungan masyarakat pada tanah membuat mereka meyakini falsafah jawa sadhuruk bathuk sanyari bumi, yen perlu ditohipati (walaupun hanya menyentuh kening atau sejengkal tanah, akan dibela sampai mati). Falsafah ini menunjukan betapa eratnya hubungan manusia dengan tanah. Setiap jengkal tanah merupakan harga diri yang akan dipertahankan mati-matian dengan seluruh jiwa raga.
d.        Cakupan
Urut Sewu merupakan sebutan untuk daerah yang membentang di pesisir selatan Pulau Jawa. Di Kabupaten Kebumen, yang termasuk wilayah Urut Sewu meliputi Kecamatan Klirong, Petanahan, Puring, Buluspesatren, Ambal dan Mirit.
Secara akademis dapat dikemukakan bahwa penyebab terjadinya konflik di bidang pertanahan antara lain adalah keterbatasan ketersediaan tanah, ketimpangan dalam struktur penguasaan tanah, ketiadaan persepsi yang sama antara sesama pengelola negara mengenai makna penguasaan tanah oleh negara, inkonsistensi, dan ketidaksinkronisasian. Ini baik secara vertikal maupun secara horizontal peraturan perundang-undangan yang ada kaitannya dengan tanah, praktek-praktek manipulasi dalam perolehan tanah pada masa lalu dan di era reformasi muncul kembali gugatan, dualisme kewenangan (pusat-daerah) tentang urusan pertanahan serta ketidakjelasan mengenai kedudukan hak ulayat dan masyarakat hukum adat dalam sistem perundang-undangan agraria.
Sebagaimana diketahui bahwa tanah, khususnya bagi masyarakat mempunyai kedudukan sentral, baik sebagai sumber daya produksi maupun sebagai tempat pemukiman.Oleh karena itu masalah tanah selalu mendapat perhatian dan penanganan yang khusus pula. Lebih-lebih lagi dalam era pembangunan ini, bahwa pembangunan menjangkau berbagai macam aktifitas dalam membangun manusia Indonesia seutuhnya, yang sedikit atau banyak akan berkaitan dengan bidang tanah.
Kasus sengketa tanah Urut Sewu merupakan kasus rumit yang melibatkan banyak pihak. Penyelesaiannya sebaiknya dilakukan melalui jalur hukum yang dilandasi keadilan dan akal sehat untuk mencapai win-win solution, bukan dengan saling menyalahkan secara emosional. Kasus pertanahan memiliki banyak dimensi sosial yang dipertentangkan, mulai dari hubungan sosial, religi, ketidakberlanjutan komunitas masyarakat dan harga diri serta martabat manusia (dignity) yang penyelesaiannya membutuhkan itikad baik dari pihak bersengketa agar tidak menimbulkan gejolak kemasyarakatan.
Penyelesaian kasus sengketa tanah ini harus dilakukan melalui pengadilan yang berkeadilan. Keadilan diartikan sebagai suatu seimbang , tidak berat sebelah atau tidak memihak. Bila azas keadilan tidak terpenuhi maka penyelesaiannya akan berlarut-larut. Berarti, azas keadilan harus terpenuhi diantar pihak yang bersengketa yang meliputi :
  1. Azas equality before the law yaitu azas persamaan hak dan derajat dihadapan hukum;
  2. Azas equal protection on the law yaitu azas yang menyatakan bahwa setiap orang berhak mendapat perlindungan yang sama oleh hukum;
  3. Azas equal justice under the law yaitu azas yang menyatakan bahwa setiap orang mendapat perlakuan yang sama di bawah hukum.
Dalam kasus sengketa tanah diperlukan peran serta pemerintah untuk menyelesaikannya dengan akal sehat dan menggunakan kaidah berpikir tepat dan logis. Kaidah berpikir tepat dan logis merupakan cara berpikir sesuai tahap-tahap penalaran atau kegiatan akal budi. Prinsip akal budi secara aspek mental meliputi pengertian (concept), putusan (judgement) dan penyimpulan (reasoning). Sebagai langkah awal, pemerintah sebagai penengah harus mengetahui permasalahannya secara detail dengan melekukan penelitian lebih lanjut mengenai status kepemilikan tanah. Kemudian pemerintah mengkaitkan antara hukum dengan fakta yang ada dan menyimpulkan kepemilikan atas tanah Urut Sewu. Kaidah berpikir logis sangat penting dilakukan agar hasil keputusannya dapat diterima oleh kedua belah pihak.
Jika TNI menganggap lahan tersebut merupakan hak mereka, maka warga sekitar yang memanfaatkan lahan tersebut mestinya segera diberi peringatan. Sebaliknya, warga sekitar juga wajib menegur TNI jika lahan yang mereka miliki digunakan oleh TNI. Jika dikerucutkan, permasalahannya adalah tentang bukti kepemilikan tanah sengketa Urut Sewu dan siapa yang menggunakan tanpa hak selama bertahun-tahun. Jika terbukti warga tidak memiliki hak maka yang selama ini digunakan sebagai mata pencaharian bertani diberi penggantian kerugian karena warga mengantongi Letter C.
Berikut beberapa Pasal dalam UUPA yang mendukung kasus ini :[11]
  1. Pasal 2 angka (1) menyatakan bahwa kekuasaan tertinggi atas tanah, bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya dikuasai Negara;
  2. Telah disebutkan dalam Pasal 6 UUPA bahwa semua ha katas tanah mempunyai fungsi sosial. Itu berarti bahwa kepentingan umum harus diutamakan daripada kepentingan pribadi, namun bukan berarti kepentingan pribadi tidak berhak dibela, namun harus dilihat dari segi kemanfaatannya;
  3. Disebutkan dalam Pasal 7 bahwa penggunaan tanah dilarang merugikan pihak lain;
  4. Pasal 9 angka (2) menyatakan bahwa setiap Warga Negara Indonesia baik laki-laki maupun perempuan berhak memperoleh Hak Atas Tanah, serta memperoleh manfaat dan hasilnya, baik bagi diri maupun keluarganya;
  5. Pasal 19 menyatakan bahwa demi kepastian hukum dilakukan pendaftaran tanah;
  6. Pasal 41 angka (2) menyatakan bahwa hak pakai dapat diberikan dalam jangka waktu tertentu untuk keperluan tertentu dan boleh secara Cuma-Cuma ataupun dengan pemberian jasa.
Setelah saya memahami berita tentang kasus sengketa tanah antara TNI-AD dan masyarakat sekitar, ada dua versi yang terangkum sebagai benang merah masalah ini yaitu sebagai berikut :
  1. Warga setempat mengaku telah memiliki sertifikat Sunu selaku Kades Wiromartan, Kecamatan Mirit mengatakan bahwa “warga siap membawa bukti Letter C, dan surat-surat sah terkait dengan kepemilikan tanah”.[12]
  2. Sedangkan TNI juga memiliki bukti
  3. TNI mengaku bahwa tanah tersebut milik TNI dengan bukti SH No 4/1994, dimana dasar hukum kepemilikan lahan itu adalah penyerahan tanah oleh KNL pada tanggal 25 Juni 1950, dan Keppres No 4/1960 tentang semua rampasan perang yang dikuasai Negara dan dibagi-bagi sesuai departemennya. Dasar hukum lain berupa Berita Acara Rekonsiliasi Barang Milik Negara pada Denzibang 1/IV Yogyakarta dengan Nomor: 012.22.035.044E02.000.KP dan periode semester II tahun anggaran 2010 No: BA.SMT2-002.TNI/WKN.09/KNL.06/2011, telah dilakukan inventarisasi dan penilaian oleh Kantor Pelayanan Kekayaan Negara dan Lelang (KPKNL) Yogyakarta.[13]
Letter C sebenarnya hanya untuk catatan penarikan pajak yang berada di Kantor Desa/ Kelurahan dan sifatnya sangatlah tidak lengkap, cara pencatatannya pun tidak akurat sehingga wajar jika dikemudian hari terjadi permasalahan. Induk dari Kutipan Pemungutan Pajak Tanah ada di Kantor Pelayanan Pajak Bumi dan Bangunan. Dan pada umumnya masyarakat yang pengetahuannya kurang cenderung hanya memiliki Girik (bukti kepemilikan tanah secara adat) sebagai alat bukti kepemilikan tanah.
Saat ini dengan adanya Undang-Undang pokok Agraria dan dengan adanya Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 1961 yang diperbarui dengan Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tidak mungkin kepemilikan Hak Atas Tanah masih tetap tunduk pada hukum adat yang tidak berkepastian hukum. Sebagai pentingnya pendaftaran Hak Atas Tanah maka diaturlah dalam Pasal 32 dan Pasal 38 UUPA tentang Hak Guna Usaha dan Hak Guna Bangunan.
Untuk menjamin kepastian hukum maka menurut Pasal 19 UUPA Pemerintah mewajibkan untuk melakukan pendaftaran tanah dan meninggalkan kebiasaan menggunakan hukum adat yaitu hanya menggunakan Girik dan Letter C dari Desa/ Kelurahan. Sekarang sudah diatur larangan berdasarkan Surat Direktur Jenderal Pajak untuk penerbitan Girik/Petuk sebagai Obyek Pajak. Saat ini mutasi Girik mulai ditiadakan karena banyak menimbulkan tumpang tindih dan ketidak pastian mengenai objek tanahnya.
Menurut hemat saya tanah yang ada di Urut Sewu, Kabupaten Kebumen adalah tanah sah milik negara sejak zaman Belanda. Sedang terjadinya kerusuhan dan bentrokan itu merupakan soal lain, dimana hal tersebut terjadi akibat adanya provokator yang membenturkan TNI dengan warga Desa Setrojenar. Akan tetapi hal tersebut sudah mendapat penanganan dan penyelesaian yang tepat dan sesuai dengan Undang-Undang, yaitu dengan menyediakan ruang publik antara pihak yang berkonflik. Di dalam ruang publik ini segala formasi opini dan aspirasi dikelola secara demokratis, dengan perbincangan rasional dalam komunikasi tanpa penguasaan. Ruang publik yang bersih dari dominasi dapat diperoleh melalui perbincangan-perbincangan rasional dalam sebuah ruang bebas yang emansipatoris. Sehingga pihak yang berkonflik dapat berbincang secara komuniktif yang membuka peluang bagi masing-masing individu untuk mengajukan pendapat, kepentingan, dan kekawatirannya tanpa ada tekanan. Hubungan yang terjadi di sini adalah hubungan antara pihak yang memiliki kedudukan sama dan bukan hubungan kekuasaan. Masing-masing pihak harus mengakui kebebasan lawan dialognya dan saling percaya sehingga menghasilkan keputusan yang pantas untuk disepakati.
Pada kasus ini warga tidak memiliki bukti kuat atas kepemilikan tanah Urut Sewu, sehingga salah jika warga masih bersih kukuh mempertahankan tanahnya yang hanya dipayungi dengan Letter C dari Desa, namun dalam hal ini TNI juga salah karena menyalahi hak asasi warga dengan bertindak sewenang-wenang, menggunakan senjata dan melukai warga.
Pertahanan dan keamanan memang mutlak diperlukan oleh suatu negara. Keberadaan TNI yang tangguh pun dibutuhkan untuk menjaga keamanan negara Indonesia. Namun, jangan sampai pengabdian untuk menjaga keamanan dan pertahanan negara menjadi cacat karena berhadapan dengan warga negara sendiri. Mengingat negara dibentuk sebagai alat untuk mencapai kesejahteraan rakyat.
  



BAB III
PENUTUP

1.3.  Kesimpulan
Peralihan Hak Atas Tanah adalah memindahkan atau beralihnya penguasaan tanah yang semula milik sekelompok masyarakat ke masyarakat lainnya. Peralihan tersebut dapat dilakukan dengan cara menukar/memindahkan tanah. Penguasaan yuridis dilandasi hak yang dilindungi oleh hukum dan umumnya memberi kewenangan kepada pemegang hak untuk menguasai secara fisik tanah yang dihaki. Namun ada juga penguasaan yuridis yang walaupun memberi kewenangan untuk penguasaan fisiknya dilakukan oleh pihak lain.
Tanah yang disengketakan tersebut adalah milik Negara namun karena masyarakat sudah terbiasa menggunakan dan memanfaatkannya jadi berdasarkan adat dianggap milik sendiri, bukti Letter C yang dimiliki masyarakat tidak cukup kuat untuk membuktikan kepemilikan tanah tersebut, harus ada sertifikat. Sedangkan pihak TNI sudah mengantongi legalitas inventarisasi dari Kantor Pelayanan Kekayaan Negara dan Lelang, Yogyakarta. Yang disoroti adalah cara TNI menghadapi masyarakat, tidak semestinya muncul pertumpahan darah.

1.4.  Saran
  1. Para pemilik tanah wajib mengantongi Sertifikat Hak Milik sebagai bukti keabsahan atas tanah agar tidak terulang kembali sengketa semacam ini;
  2. Jika hendak disewakan pihak penyewa harus membuat perjanjian terlebih dahulu mengenai batas luas tanah dan jangka waktunya, jangan sampai merugikan pemilik atau pemilik merugikan penyewa. Apalagi jika warga berhubungan dengan oknum pemerintah maka warga pasti dikalahkan karena dianggap pihak lemah;
  3. Pemerintah seharusnya bijak membela yang benar bukan membela yang bayar, jangan sampai masyarakat kecil dianggap tidak tahu apa-apa dan haknya tidak lebih berharga dari kepentingan Negara;
  4. Pemegang hak tanah jangan menyalahartikan kepemilikan, wajib perhatikan batasannya, boleh memanfaatkan asal tidak merugikan pihak lain dan boleh menggunakan hanya sesuai kebutuhan sesuai Pasal 7 dan Pasal 6 UUPA yang menyebutkan bahwa semua ha katas tanah mempunyai fungsi sosial.


DAFTAR PUSTAKA

Goenawan, Kian. 2008. Panduan Mengurus Izin Tanah & Properti. Yogyakarta: Pustaka Grhatama.
Harsono, Boedi. 1999. Undang-Undang Pokok Agraria-Sejarah Penyusunan, Isi dan Pelaksanaanya Hukum Agraria Indonesia. Jakarta: Djambatan.
Indonesia. Peraturan Pemerintah tentang Pendaftaran Tanah, PP Nomor 24 Tahun 1997, LN Nomor 59 Tahun 1997, TLN No.3696.
Ismaya, Samun. 2011. Pengantar Hukum Agraria. Yogyakarta: Graha Ilmu.
Poerwadarminta. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka.
Sihombing, Irene Eka. 2005. Segi-Segi Hukum Tanah Nasional Dalam Pengadaan tanah Untuk Pembangunan. Jakarta: Universitas Trisakti.
Soejendro, Kartini. 2001. Tafsir Sosial Hukum PPAT-Notaris Ketika Menangani Perjanjian Peralihan Hak Atas Tanah yang Berpotensi Konflik. Yogyakarta: Kanisius.
Subekti, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata
Subekti, Undang-Undang Pokok Agraria
https://m.tempo.co/read/news/2015/08/23/063694221/konflik-lahan-di-urut-sewu-ini-pemicunya
http://www.daerah.sindonews.com/read/pemprov-bentuk-tim-selesaikan-urut-sewu


[1] Poerwadarminta, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka), hlm 156.
[2] Irene Eka Sihombing, Segi-Segi Hukum Tanah Nasional Dalam Pengadaan tanah Untuk Pembangunan, (Jakarta: Universitas Trisakti, 2005), hlm 56.
[3] Kartini Soejendro, Tafsir Sosial Hukum PPAT-Notaris Ketika Menangani Perjanjian Peralihan Hak Atas Tanah yang Berpotensi Konflik, (Yogyakarta: Kanisius, 2001), hlm 48.
[4] Ibid, hlm 58.
[5] Boedi Harsono, Undang-Undang Pokok Agraria-Sejarah Penyusunan, Isi dan Pelaksanaanya Hukum Agraria Indonesia, (Jakarta: Djambatan, 1999), hlm 7-8.
[6] Samun Ismaya, Pengantar Hukum Agraria. (Yogyakarta: Graha Ilmu, 2011), hlm 77.
[7] Kian Goenawan, Panduan Mengurus Izin Tanah & Properti, (Yogyakarta: Pustaka Grhatama, 2008), hlm 77.
[8] Subekti, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, Pasal 833.
[9] Indonesia, Peraturan Pemerintah tentang Pendaftaran Tanah, PP Nomor 24 Tahun 1997, LN Nomor 59 Tahun 1997, TLN No.3696, Pasal 3.
 [10] Berita : https://m.tempo.co/read/news/2015/08/23/063694221/konflik-lahan-di-urut-sewu-ini-pemicunya Diakses 20 Maret 2016 Pukul 20.00.
[11] Subekti, Undang-Undang Pokok Agraria
[12] http://www.daerah.sindonews.com/read/pemprov-bentuk-tim-selesaikan-urut-sewu
Diakses 20 Maret 2016 Pukul 20.00.
[13] http://www.printkompas.com/bentrok-petani-dan-TNI-kembali-pecah-di-kebumen
Diakses 20 Maret 2016 Pukul 20.00.

1 Response to "MAKALAH HUKUM AGRARIA, Analisis Kasus Sengketa Tanah Antara TNI-AD dengan Masyarakat Urutsewu, Kebumen, Jawa Tengah"

  1. KISAH CERITA SAYA SEBAGAI NAPI TELAH DI VONIS BEBAS, BERKAT BANTUAN BPK PRIM HARYADI SH. MH BELIAU SELAKU PANITERA MUDA DI KANTOR MAHKAMAH AGUNG (M.A) DAN TERNYATA BELIAU BISA MENJEMBATANGI KEJAJARAN PA & PN PROVINSI JUGA.

    Assalamu'alaikum sedikit saya ingin berbagi cerita kepada sdr/i , saya adalah salah satu NAPI yang terdakwah dengan penganiayaan pasal 351 KUHP dengan ancaman hukuman 2 Tahun 8 bulan penjara, singkat cerita sewaktu saya di jengut dari salah satu anggota keluarga saya yang tinggal di jakarta, kebetulan dia tetangga dengan salah satu anggota panitera muda perdata M.A , dan keluarga saya itu pernah cerita kepada panitera muda M.A tentang masalah yang saya alami skrg, tentang pasal 351 KUHP, sampai sampai berkas saya di banding langsun ke jakarta, tapi alhamdulillah keluarga saya itu memberikan no hp dinas bpk PRIM HARYADI SH.MH Beliau selaku panitera muda perdata di kantor M.A pusat, dan saya memberanikan diri call beliau dan meminta tolong sama beliau dan saya juga menjelas'kan masalah saya, dan alhamdulillah beliau siap membantu saya setelah saya curhat masalah kasus yang saya alami, alhamdulillah beliau betul betul membantu saya untuk di vonis dan alhamdulillah berkat bantuan beliau saya langsun di vonis bebas dan tidak terbukti bersalah, alhamdulillah berkat bantuan bpk prim haryadi SH. MH beliau selaku ketua panitera muda perdata di kantor Mahkamah Agung R.I no hp bpk DR Prim Haryadi SH.MH 📞 0853-2174-0123. Bagi teman atau keluarga teman yang lagi terkenah musibah kriminal, kalau belum ada realisasi masalah berkas anda silah'kan hub bpk prim haryadi semoga beliau bisa bantu anda. Wassalam.....

    ReplyDelete