MAKALAH
HUKUM AGRARIA
Peralihan
Hak-Hak yang Dimiliki oleh
PT
Kereta Api Indonesia (KAI Persero)
Dosen : Supriyanto,
S.H, M.H
Dibuat
untuk memenuhi salah satu persyaratan dalam memperoleh nilai mata
kuliah Hukum Agraria
Disusun oleh :
Nama : Wiji Nurfi Utami
NIM : E1A013151
Kelas : Gabungan
KEMENTERIAN RISET TEKNOLOGI DAN PERGURUAN TINGGI
UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN
FAKULTAS HUKUM
PURWOKERTO
2016
KATA PENGANTAR
Assalamu’alaikum Wr.Wb.
Pertama-tama
marilah kita ucapkan puji syukur kehadirat Allah SWT atas berkat rahmat-Nya
makalah ini dapat diselesaikan dengan baik dan tepat waktu.
Makalah
ini tidak luput dari bimbingan Dosen Hukum Agraria serta tuntutan untuk
memenuhi tugas terstruktur mata kuliah ini.
Penulis
menyadari bahwa makalah ini jauh dari kesempurnaan, maka mohon maaf atas segala
kesalahan dan kekurangan dalam penyusunan makalah ini. Untuk itu penulis tidak
menutup kemungkinan untuk menerima berbagai saran dan kritik yang membangun
sebagai bahan pertimbangan dan perbaikan dimasa mendatang.
Wassalamu’alaikum Wr.Wb
Purwokerto,
14 Juni 2016
Penyusun
BAB
I
PENDAHULUAN
1.1.
Latar Belakang
Tanah PT KAI sendiri
ditinjau dari segi historisnya (Subarkah, 1992), berasal dari aset perusahaan
Kereta Api Negara (Staats Spoorwage=SS) dan aset perusahaan-perusahaan Kereta
Api Belanda yang telah dinasionalisasikan berdasarkan Undang Undang No. 86
Tahun 1958 Jo. Peraturan Pemerintah No. 40 dan No. 41 Tahun 1959, semuanya
menjadi aset Djawatan Kereta Api. Pada saat terjadinya likuidasi pada tahun
1958 dengan UU No. 86 Jo. Peraturan Pemerintah No. 40 dan No. 41 tahun 1959,
maka tanah-tanah perkeretaapian akan dikuasai oleh Djawatan yang menurut
Peraturan No. 8 tahun 1953 adalah organisasi suatu menteri yang berdiri sendiri
(Riyadi 1998: 73). Adapun pelaksanaan konversinya dilakukan menurut ketentuan dari
Peraturan Menteri Agraria No. 9 tahun 1965 Jo. Peraturan Menteri Agraria No. 1 tahun
1966 hak penguasaan yang dikuasai instansi pemerintah dikonversi menjadi hak
pakai bila ingin digunakan untuk kepentingan sendiri, dan dikonversi menjadi
hak pengelolaan untuk diberikan kepada masyarakat.
Landasan pengelolaan pertanahan secara yuridis diatur dalam
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria
sebagai penjabaran Pasal 33 ayat (3) Undang Undang Dasar 1945. Undang-Undang
Pokok Agraria sebagai sebutan dari Undang-Undang No 5 tahun 1960 disusun
berdasarkan pedoman-pedoman dari Pancasila sebagai dasar kerokhanian dan
merupakan azas hukum agraria yang bersifat khusus dan telah dijelmakan dalam
Pasal-Pasal Undang Undang Pokok Agraria (Sutiknjo, 1990: 54).
Pasal 6 Undang-Undang Pokok Agraria yang memuat pernyataan penting
mengenai hak atas tanah, yang merumuskan secara singkat sifat kebersamaan atau
kemasyarakatan hak-hak atas tanah menurut konsepsi yang mendasari hukum tanah
nasioanal, Pasal 6 tersebut berbunyi: “semua hak atas tanah mempunyai fungsi
sosial”. Ini berarti, bahwa hak atas tanah apapun yang ada pada seorang
tidaklah dapat dibenarkan, bahwa tanahnya itu akan dipergunakan (atau tidak
dipergunakan) semata-mata untuk kepentingan pribadinya, apabila kalau hal itu
menimbulkan kerugian bagi masyarakat. Penggunaan tanah harus disesuaikan dengan
keadaan dan sifat dari haknya, hingga bermanfaat baik bagi kesejahteraan dan
kebahagiaan yang mempunyainya maupun bermanfaat pula bagi masyarakat dan
negara. Tetapi dari pada itu, ketentuan tersebut tidak berarti, bahwa
kepentingan perseorangan akan terdesak sama sekali oleh kepentingan umum
(masyarakat). Undang-Undang Pokok Agraria memperhatikan kepentingan perseorangan
dan harus saling mengimbangi, hingga pada akhirnya akan tercapai tujuan pokok:
kemakmuran, keadilan dan kebahagiaan bagi rakyat seluruhnya (Pasal 2 ayat (3)).
Dengan demikian tanah yang dihaki seseorang bukan hanya mempunyai fungsi bagi
empunya saja, tetapi juga bagi Bangsa Indonesia seluruhnya.
Perkembangan
ilmu pengetahuan dan teknologi telah memberikan konsekuensi bahwa hubungan
antara manusia dengan tanah mutlak diperlukan adanya penataan dan pengaturan yang
lebih seksama, khususnya yang berkenaan dengan penguasaan, peruntukan,
penggunaan, persediaan dan pemeliharaanya.[1] Undang
Undang Pokok Agraria sebagai sebutan dari Undang-Undang No 5 tahun 1960 disusun
berdasarkan pedoman-pedoman dari Pancasila sebagai dasar kerokhanian dan
merupakan azas hukum agraria yang bersifat khusus dan telah dijelmakan dalam Pasal-Pasal
Undang Undang Pokok Agraria.[2]
1.2.
Rumusan Masalah
- Peralihan hak apa saja yang dimiliki PT KAI untuk membangun kantor, stasiun dan jalur kereta api ?
- Apakah Hak Atas Tanah merupakan hak pengelolaan ?
2.1.
Tujuan
- Mengetahui peralihan hak apa saja yang dimiliki PT KAI untuk membangun kantor, stasiun dan jalur kereta api.
- Mempelajari apakah Hak Atas Tanah merupakan hak pengelolaan.
BAB II
PEMBAHASAN
2.1.
Peralihan
Hak yang Dimiliki PT KAI
Hak
Atas Tanah yang dimiliki PT KAI untuk membangun kantor, stasiun dan jalur
kereta api adalah Hak Guna Bangunan dan Hak Pakai. Berikut akan dijelaskan
pengertian dan ciri-cirinya :
1.
Hak
Guna Bangunan (HGB)
a.
Pengertian dan Sifat Hak Guna
Bangunan
Hak Guna Bangunan adalah hak untuk mendirikan bangunan dan
mempunyai bangunan-bangunan atas tanah yang bukan miliknya sendiri, dalam
jangka waktu paling lama 30 tahun dan dapat diperpanjang dengan waktu 20 tahun
lagi, dapat beralih dan dialihkan kepada pihak lain, dapat dijadikan jaminan
utang dengan dibebani hak tanggungan.[3]
Dengan adanya Keputusan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan
Pertanahan Nasional No. 6 Tahun 1998 tentang Pemberian Hak Milik atas Tanah
untuk Rumah Tinggal, tanah yang berstatus HGB atau Hak Pakai dan digunakan
sebagai rumah tinggal dapat diajukan permohonan peningkatan statusnya menjadi
Hak Milik. Sedangkan jika penggunaanya sebagai tempat usaha (beruka ruko atau
kantor), pengguna tetap hanya boleh memegang HGB.[4]
Sifat-sifat dari Hak Guna Bangunan adalah:
- Hak untuk mendirikan dan mempunyai bangunan di atas tanah yang bukan miliknya sendiri, tanah Negara atau tanah milik orang lain;
- Jangka waktu paling lama 30 tahun dan dapat diperpanjang 20 tahun lagi;
- Dapat beralih atau dialihkan kepada pihak lain;
- Dapat dijadikan jaminan hutang yang dibebani hak tanggungan.
Pengaturan mengenai Hak Guna Bangunan terdapat dalam Pasal
35 sampai dengan Pasal 43 Undang-Undang Pokok Agraria, ketentuan lebih lanjut
mengenai regulasi Hak Guna Bangunan diatur dalam PP No 40 Tahun 1996 tentang
Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan Dan Hak Pakai Atas Tanah, Pasal 19 sampai
dengan Pasal 38.
b.
Subyek Hak Guna Bangunan
Sesuai dengan Pasal 36 ayat (1) Undang-Undang No 5 Tahun
1960, maka yang dapat mempunyai Hak Guna Bangunan, adalah:
- Warga negara Indonesia;
- Badan hukum yang didirikan menurut hukum Indonesia berkedudukan di Indonesia.[5]
Dalam kaitannya dengan subyek Hak Guna Bangunan sebagai
tersebut di atas, maka sesuai dengan ketentuan Pasal 36 ayat 2 Undang-Undang No
5 Tahun 1960, ditentukan bahwa: Orang atau badan hukum yang mempunyai Hak Guna
Bangunan dan tidak lagi memenuhi syarat-syarat yang tersebut dalam ayat 1 Pasal
ini dalam jangka waktu 1 tahun wajib melepaskan atau mengalihkan hak itu kepada
pihak lain yang memenuhi syarat. Ketentuan ini berlaku juga terhadap pihak lain
yang memperoleh Hak Guna Bangunan jika ia tidak memenuhi syarat-syarat
tersebut. Jika Hak Guna Bangunan yang bersangkutan tidak dilepaskan atau
dialihkan dalam jangka waktu tersebut, maka hak itu hapus karena hukum, dengan
ketentuan bahwa hak-hak pihak lain akan diindahkan menurut ketentuan-ketentuan
yang ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah.[6]
c.
Objek Hak Guna Bangunan
Menurut Pasal 35 UUPA, Hak Guna Bangunan diberikan di atas
tanah yang “bukan milik” dari pemegang Hak Guna Bangunan itu sendiri. Jika
dikaitkan dengan ketentuan Pasal 37 UUPA, maka dapat diartikan bahwa Hak Guna
Bangunan menurut ketentuan Pasal 35 UUPA dapat diberikan diatas tanah Negara
maupun tanah hak milik orang lain. Selanjutnya, Pasal 21 PP No 40 tahun 1996,
menyatakan bahwa tanah yang dapat diberikan dengan Hak Guna Bangunan adalah:
a)
Tanah Negara;
b)
Tanah Hak Penggelolaan;
c)
Tanah Hak Milik.[7]
d.
Terjadinya Hak Guna Bangunan
Berdasarkan Pasal 34 Undang-Udang Pokok Agraria jo Pasal 22
PP No 40 Tahun 1996 menyebutkan:
- Mengenai Hak Guna Bangunan atas tanah Negara diberikan dengan Penetapan Pemerintah, dalam hal ini keputusan pemberian hak oleh Menteri atau Pejabat yang ditunjuk;
- Mengenai Hak Guna Bangunan atas tanah Hak Milik, diberikan dengan perjanjian yang berbentuk autentik antara pemilik tanah yang bersangkutan dengan pihak yang akan memperoleh Hak Guna Bangunan;
- Mengenai Hak Guna Bangunan atas tanah Hak Pengelolaan diberikan dengan keputusan pemberian hak oleh Menteri atau Pejabat yang ditunjuk berdasarkan usul pemegang hak.
e.
Hapusnya Hak Guna Bangunan
Pasal 40 Undang-Undang Pokok Agraria jo Pasal 35 PP No 40
Tahun 1996, menyatakan bahwa Hak Guna Bangunan hapus karena:
- Jangka waktunya telah berakhir;
- Diberhentikan atau dibatalkan oleh pejabat yang berwenang sebelum jangka waktunya karena sesuatu syarat tidak terpenuhi
- Dilepaskan secara sukarela oleh pemegang haknya sebelum jangka waktunya berakhir;
- Dicabut untuk kepentingan umum;
- Ditelantarkan;
- Tanahnya musnah;
- Ketentuan –ketentuan apabila dalam jangka waktu 1 (satu) tahun pemegang Hak Guna Bangunan tidak memenuhi syarat lagi sebagai subyek Hak Guna Bangunan maka apabila haknya tidak dilepaskan atau dialihkan kepada pihak yang memenuhi syarat maka hak tersebut akan hapus.[8]
2.
Hak
Pakai
a.
Pengertian
dan Sifat Hak Pakai
Hak Pakai adalah hak untuk menggunakan
dan atau memungut hasil dari tanah yang dikuasainya langsung oleh negara atau
tanah milik orang lain yang berwenang dan kewajiban yang ditentukan dalam keputusan
pemberiannya oleh pejabat yang berwenang memberikannya dalam perjanjian pengolahan
tanah, segala sesuatu asal tidak bertentangan dengan jiwa dan ketentuan
Undang-Undang.[9]
Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) bersifat eksklusif, dengan alasan tidak memberi
peluang kepada warga Negara asing (WNA) untuk mempunyai sesuatu hak atas tanah
di Indonesia, dan oleh karena itu perlu diganti ternyata tidak berdasar sama
sekali.[10]
Sifat-sifat dari Hak Pakai :
- Hak Pakai atas tanah bangunan maupun tanah pertanian;
- Dapat diberikan oleh Pemerintah maupun oleh si pemilik tanah;
- Hak Pakai dapat diberikan untuk jangka waktu tertentu atau selama tanahnya dipergunakan untuk keperluan tertentu;
- Hak Pakai dapat diberikan dengan cuma-cuma dengan pemberian jasa atau pembayaran berupa apapun;
- Hak pakai hanya dapat dialihkan kepada pihak lain, sepanjang dapat ijin pejabat yang berwenang, apabila mengenai tanah yang dikuasai langsung oleh negara atau dimungkinkan dalam perjanjian yang bersangkutan apabila mengenai tanah milik;
- Hak Pakai tidak dapat dijadikan jaminan hutang dengan dibebani hak tanggungan;
- Pemberian Hak Pakai tidak boleh disertai syarat-syarat yang mengandung pemerasan.[11]
Pengaturan mengenai Hak Pakai diatur
dalam Pasal 41 sampai dengan Pasal 43 Undang-Undang Pokok Agraria. Ketentuan lebih
lanjut tentang regulasi Hak Pakai diatur dalam PP No 40 Tahun 1996 tentang Hak
Guna Usaha, Hak Guna Bangunan Dan Hak Pakai Atas Tanah dari Pasal 39 sampai
dengan Pasal 58.
b.
Subjek
Hak Pakai
Sesuai dengan Pasal 42 UUPA Jo Pasal 39
PP No 40 Tahun 1996 maka yang dapat mempunyai Hak Pakai, adalah :
- Warga negara Indonesia;
- Orang-orang asing yang berkedudukan di Indonesia;
- Badan-badan hukum yang didirikan menurut hukum Indonesia dan berkedudukan di Indonesia;
- Badan hukum asing yang mempunyai perwakilan di Indonesia;
- Departemen, lembaga Pemerintah Non Departemen, dan Pemerintah Daerah;
- Badan- badan keagamaan dan sosial;
- Perwakilan negara asing dan perwakilan Badan Internasional.
c.
Objek
Hak Pakai
Dalam pasal 41 PP No 40 Tahun 1996
menyatakan bahwa tanah yang dapat diberikan hak pakai adalah:
a)
Tanah Negara;
b)
Tanah Hak Penggeloan;
c)
Tanah Hak Milik
d.
Terjadinya
Hak Pakai
Pasal
42 PP No 40 Tahun 1996 menyatakan :
- Hak Pakai atas tanah Negara diberikan dengan keputusan pemberian hak oleh Menteri atau Pejabat yang ditunjuk.
- Hak Pakai atas Hak Penggelolaan diberikan dengan keputusan pemberian hak oleh Menteri atau Pejabat yang ditunjuk berdasarkan usul pemegang Hak Penggelolan.
- Ketentuan, tata cara dan syarat permohonan dan pemberian hak pakai atas tanah Negara dan tanah Hak Penggelolaan diatur lebih lanjut dengan Keputusan Presiden.
Menganai Hak Pakai atas tanah Hak Milik
diberikan dengan perjanjian autentik dengan akta Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT)
e.
Hapusnya
Hak Pakai
Hak
Pakai hapus karena :
- Berakhir jangka waktu sebagaimana ditetapkan dalam keputusan pemberian atau perpanjangan atau dalam perjanjian pemberiannya;
- Dibatalkan oleh pejabat yang berwenang, pemegang Hak Penggelolaan atau pemegang Hak Milik sebelum jangka waktu berakhir;
- Dilepaskan secara sukarela oleh pemegang haknya sebelum jangka waktu berakhir;
- Dicabut;
- Ditelantarkan;
- Tanahnya musnah;
- Subyeknya tidak lagi memenuhi ketentuan sebagai subyek Hak Pakai (Pasal 40 PP No 40 Tahun 1996 dan Pasal 36 ayat (2) UUPA).
Ketentuan
lebih lanjut mengenai hapusnya Hak Pakai sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
diatur lebih lanjut dengan Keputusan Presiden.[12]
2.1.
Perbedaan
Hak Atas Tanah dan Hak Pengelolaan
Hak
Atas Tanah
a.
Pengertian
Hak Atas Tanah
Pasal 4 ayat (1) Undang-Undang No 5 Tahun 1960 tentang
Peraturan Pokok Agraria mengartikan tanah sebagai permukaan bumi, dengan
demikian hak atas tanah adalah hak atas permukaan bumi. Selanjutnya ayat (2)
menegaskan bahwa meskipun secara kepemilikan hak atas tanah hanya atas
permukaan bumi, penggunaanya selain atas tanah itu sendiri, juga atas permukaan
bumi, air dan ruang angkasa diatasnya. Yang dimaksud hak atas tanah, adalah hak-hak
atas tanah sebagaimana ditetapkan Pasal 16 Undang-Undang Pokok Agraria
khususnya hak atas tanah primer.[13]
Ketentuan Pasal 4 ayat ( 1 ) Undang Undang Pokok Agraria
menguraikan bahwa : “Atas dasar hak menguasai dari Negara, ditentukan adanya
macam-macam hak atas permukaan bumi, yang disebut tanah, yang dapat diberikan
kepada dan dipunyai oleh orang-orang, baik sendiri maupun bersama-sama dengan
orang-orang lain serta badan-badan hukum”.[14]
Hak Pengelolaan
a.
Pengertian dan Sifat Hak Pengelolaan
Menurut A.P. Parlindungan, istilah Hak
Pengelolaan berasal dari istilah Belanda, yaitu beheersrecht yang diterjemahkan menjadi hak penguasaan.[15]
Hak penggelolaan tidak secara ekplisit tampak dalam Undang-Undang Pokok Agraria
melainkan hanya tersirat dalam penjelasan umum Undang-Undang Pokok Agraria yang
menyatakan :”Dengan berpedoman pada tujuan yang disebutkan di atas, Negara
dapat memberikan tanah yang demikian (yang dimaksud adalah tanah yang tidak
dipunyai dengan sesuatu hak oleh seseorang atau pihak lain) kepada sesorang
atau badan-badan dengan sesuatu hak menurut peruntukannya atau keperluannya
misalnya dengan Hak Milik, Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan atau Hak Pakai
atau memberikannya dengan pengelolaan kepada suatu badan penguasa (Departemen,
Jawatan Atau Daerah Swatantra) untuk dipergunakan bagi pelaksanaan tugasnya masing-masing”
(Pasal 2 ayat (4))[16].
Namun demikian keberadaan Hak Pengelolaan tersebut dikukuhkan dalam Undang-Undang
No 16 Tahun 1985 tentang Rumah Susun yang secara khusus dapat dilihat dalam
Pasal 7 dan penjelasannya.
Isi dan sifat Hak Penggeloaan lebih
mengarah kepada kewenangan yang bersifat publik seperti hak menguasai dari Negara.
Sehubungan dengan itulah maka Boedi Harsono menyatakan bahwa Hak Penggelolaan
pada hakekatnya bukan hak atas tanah melainkan merupakan “gempilan” dari hak
menguasai dari Negara.[17]
Istilah gempilan itu dipergunakan untuk Hak Penggelolaan karena menurut Pasal 1
PP No 40 Tahun 1996, Hak Pengelolaan adalah hak menguasai dari Negara yang
kewenangan pelaksanaanya sebagian dilimpahkan kepada pemegangnya. Tujuan dari pemberian
Hak Pengelolaan adalah bahwa tanah yang bersangkutan disediakan bagi penggunaan
oleh pihak-pihak lain yang memerlukan. Dalam penyediaan dan pemberian tanah
itu, pemegang haknya diberi kewenangan untuk melakukan kegiatan yang merupakan
sebagian dari kewenangan Negara yang diatur dalam Pasal 2 Undang-Undang Pokok
Agraria. Sehingga Pengertian Hak Penggelolaan adalah hak penguasan atas tanah
Negara dengan maksud di samping digunakan sendiri oleh si pemegang hak, juga
oleh pihak pemegang memberikan sesuatu hak kepada pihak ketiga, kepada si
pemegang hak diberikan wewenang untuk[18]
:
- Merencanakan peruntukan dan penggunaan hak atas tanah tersebut;
- Menggunakan tanah tersebut untuk keperluan pelaksanaan tugasnya;
- Menyerahan bagian tanah tersebut kepada pihak ketiga dengan Hak Milik, Hak Guna Bangunan, Hak Guna Usaha dan Hak Pakai. Sedangkan pemberian hak atas bagian-bagian tanah tetap dilakukan oleh pejabat yang berwenang;
- Menerima uang pemasukan /ganti rugi dan atau wajib tahunan.
b.
Subyek
Hak Pengelolaan
Pasal 67 Peraturan Menteri Negara
Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional No 9 tahun 1999 tentang Tata Cara
Pemberian Dan Pembatalan Hak Atas Tanah Negara Dan Hak Penggelolaan, dinyatakan
bahwa yang dapat diberikan subyek hak penggelolaan adalah:
a)
Instansi pemerintah
termasuk Pemerintah daerah;
b)
Badan Usaha Milik
Negara;
c)
Badan Usaha Milik
Daerah;
d)
P.T Persero;
e)
Badan otorita dan;
f)
Badan-badan hukum
Pemerintah lainnya yang ditunjuk oleh Pemerintah.
Sebagai
implikasi dari berbagai macam subyek Hak Penggelolaan itu, maka berdasarkan
jenis dan pengaturannya differensiasi Hak Penggelolaan menjadi[19]
:
- Hak Penggelolaan Pelabuhan (PP No 69 Tahun 2001 tentang Kepelabuan);
- Hak Penggelolaan Otoritas ( Keppres No 41 Tahun 1973 tentang Daerah Industri Batam jo Keppres No 94 Tahun 1998);
- Hak Penggelolaan Perumnas (PP No 12 Tahun 1988 jo PP No 15 Tahun 2004 tentang Perum Perumnas);
- Hak Penggelolaan Pemerintah Daerah (PP No 8 Tahun 1953);
- Hak Penggelolaan Transmigrasi (UU No 15 Tahun 1997 tentang Ketransmigrasian);
- Hak Penggelolaan Instansi Pemerintah (Keppres No 79 Tahun 1999 Dan Keppres No 73 Tahun 1998 tentang Badan Pengelola Gelora Senayan Dan Badan Pengelola Komplek Kemayoran);
- Hak penggelolaan industri/pertanian/pariwisata/perkereta apian (PP No 19 Tahun 1998 tentang Penggalihan Bentuk Perum Kereta Api menjadi Pesero);
- Hak Penggelolaan Lainnya (PP No 36 Tahun 1990 tentang Kawasan Berikat).[20]
c.
Objek
Hak Pengelolaan
Obyek Hak Penggelolaan adalah
tanah-tanah yang diberikan dengan Hak Penggelolaan. Hak Penggelolaan hanya
dapat diberikan diatas tanah Negara oleh karena itu jika diatas tanah yang akan
diberikan Hak Penggelolaan masih ada hak-hak atas tanah yang lain (misalnya Hak
Guna Bangunan atau “hak garap”), maka yang akan memperoleh Hak Penggelolaan (Pemohon)
wajib melepaskan tanah tersebut menjadi tanah Negara dan seluruh biaya termasuk
ganti rugi atau hak garap dibebankan kepada calon pemegang Hak Penggelolaan.[21]
d.
Cara
Terjadinya
Hak penggelolaan dapat terjadi karena
konversi Hak Pengguasaan Tanah Negara berdasarkan PMA No 9 Tahun 1965 yakni:
- Apabila tanah tersebut masih digunakan oleh instansi yang menguasai untuk pelaksanaan tugasnya, maka dikonversi menjadi Hak Pakai;
- Jika selain dipergunakan untuk pelaksanaan tugasnya juga diberikan kepada pihak ketiga maka dikonversi menjadi Hak Penggelolaan.
Dalam perkembangan pengaturannya, proses
pemberi Hak Penggelolaan tunduk atau diatur berdasarkan PMA/BPN No 9 Tahun 1999
tentang Tata Cara Pembebanan Dan Pembatalan Hak Atas Tanah Negara Dan Hak
Penggelolaan. Kewenangan pemberian Hak Penggelolaan berada pada Kepala Badan
Pertanahan Nasional.
Pasal 21 ayat (3) PP No 46 Tahun 2003
menyatakan, besarnya uang pemasukan atas hak penggelolaan adalah sebesar Rp 0
(nol rupiah). Selanjutnya, besarnya bea atau pajak yang terhutang atas tanah
atau bangunan (BPHTB) untuk pemberian hak penggelolaan kepada Departemen, Lembaga
Pemerintahan Non Departemen, Pemerintahan provinsi, Pemerintah kota atau
Kabupaten, Lembaga Pemerintahan lainnya dan Perum Perumnas dikenakan BPHTB
sebesar 0% (nol persen) ; sedangkan untuk penerima Hak Penggelolaan selain dari
lembaga-lembaga tersebut dikenakan BPHTB sebesar 25 % (dua puluh lima persen).
e.
Peralihannya
Menurut Budi Harsono,[22]
bahwa hak menguasai dari Negara tidak dapat dipindahkan kepada pihak lain,
tetapi pelaksanaannya dapat dilimpahkan kepada Pemerintah Daerah dan masyarakat
hukum adat, sepanjang hal itu diperlukan dan tidak bertentangan dengan
kepentingan nasional, sebagai tugas pembantuan bukan otonomi, yang mana
implikasinya Hak Penggelolaan tidak dapat dialihkan kepada pihak lain kecuali
hak-hak atas tanah yang lahir dari Hak Penggelolaan tersebut.
f.
Pembebanannya
Bagian-bagian tanah Hak Penggelolan yang
diberikan Kepada Pemerintah Daerah, Lembaga Instansi atau Badan-Badan Hukum
Pemerintah untuk pembangunan wilayah pemukiman, dapat diserahkan pada pihak
ketiga dan diusulkan pada Menteri Dalam Negeri sekarang kepala BPN atau
Gubernur Kepala Daerah yang bersangkutan untuk diberikan dengan Hak Milik, Hak
Guna Bangunan, atau Hak Pakai sesuai dengan rencana peruntukan dan penggunaan tanah
yang telah dipersiapkan oleh pemegang Hak Penggelolaan yang bersangkutan.
Setiap penyerahan penggunaan tanah
sebagai bagian dari penggelolaan itu kepada pihak ketiga oleh pemegang hak penggelolaan
wajib membuat perjanjian tertulis antara pemegang Hak Penggelolaan, dan dari
bagian Hak Penggelolaan hanya dapat diberikan Hak Milik, Hak Guna Bangunan dan
Hak Pakai.[23]
Menurut Ali Ahmad Chomzah, apabila dari
Hak Penggelolaan itu diberikan Hak Milik pada pihak ketiga, maka sejak hak
milik itu di daftarkan di kantor pertanahan setempat hak penggelolaannya
menjadi hapus dengan sendirinya.[24]
Pembebanan Hak Guna Bangunan dan Hak
Pakai diatas Hak Penggelolaan dapat dilaksanakan setelah Hak Penggelolaan
tersebut di daftarkan di Kantor Pertanahan. Hak Penggelolaan merupakan bagian
atau gempilan dari Hak Menguasai Negara sehingga Hak Penggelolaan juga tidak dapat
dijadikan jaminan hutang dengan dibebani hak tanggungan. Akan tetapi Hak Atas
Tanah yang diberikan di atas tanah Hak Penggelolaan dapat dibebani Hak
Tanggungan berdasarkan Undang-Undang No 4 Tahun 1996 dengan persetujuan
pemegang Hak Penggelolaan.
g.
Hapusnya
Hak Pengelolaan
Secara teoritis Hak Penggelolaan tidak
pernah hapus selama subyek Hak Penggeloaan tersebut masih ada. Sebagaimana
diketahui bahwa Hak Penggelolaan itu merupakan gempilan dari hak mengguasai
dari Negara yang kewenangan pelaksananya dilimpahkan pada instansi tertentu.
Selama instansi tersebut masih konsisten dalam melaksanakan tugas pemerintahannya
dan tugas untuk memberikan bagian-bagiannya dari hak penggelolaanya bagi pihak
ketiga, maka hak penggeloaan itu sendiri masih tetap eksis.
BAB
III
PENUTUP
3.1.
Kesimpulan
·
Hak
Atas Tanah yang dimiliki PT KAI untuk membangun kantor, stasiun dan jalur
kereta api adalah Hak Guna Bangunan dan Hak Pakai.
- Hak Guna Bangunan, yaitu hak untuk mendirikan bangunan dan mempunyai bangunan-bangunan atas tanah yang bukan miliknya sendiri, dalam jangka waktu paling lama 30 tahun dan dapat diperpanjang dengan waktu 20 tahun lagi, dapat beralih dan dialihkan kepada pihak lain, dapat dijadikan jaminan utang dengan dibebani hak tanggungan.
- Hak Pakai, yaitu hak untuk menggunakan dan atau memungut hasil dari tanah yang dikuasainya langsung oleh negara atau tanah milik orang lain yang berwenang dan kewajiban yang ditentukan dalam keputusan pemberiannya oleh pejabat yang berwenang memberikannya dalam perjanjian pengolahan tanah, segala sesuatu asal tidak bertentangan dengan jiwa dan ketentuan Undang-Undang.
·
Hak
Atas Tanah berbeda dengan Hak Pengelolaan, Hak Pengelolaan adalah Hak
Penguasaan Atas Tanah.
Pasal 4 ayat (1) Undang-Undang No 5
Tahun 1960 tentang Peraturan Pokok Agraria mengartikan tanah sebagai permukaan
bumi, dengan demikian hak atas tanah adalah hak atas permukaan bumi.
Sedangkan
isi dan sifat Hak Penggeloaan lebih mengarah kepada kewenangan yang bersifat publik
seperti hak menguasai dari Negara. Sehubungan dengan itulah maka Boedi Harsono menyatakan
bahwa Hak Penggelolaan pada hakekatnya bukan hak atas tanah melainkan merupakan
“gempilan” dari hak menguasai dari Negara. Istilah gempilan itu dipergunakan
untuk Hak Penggelolaan karena menurut Pasal 1 PP No 40 Tahun 1996, Hak
Pengelolaan adalah hak menguasai dari Negara yang kewenangan pelaksanaanya sebagian
dilimpahkan kepada pemegangnya.
DAFTAR
PUSTAKA
Chomzah, Ali Achmad. 2002. Hukum Pertanahan Seri Hukum Pertanahan I
Pemberian Hak Atas Tanah Negara Seri Hukum Pertanahan II Sertifikat Dan
Permasalahannya. Jakarta : Prestasi Pustaka.
Harsono,
Boedi. 2003. Hukum Agraria Di Indonesia Sejarah Pembentukannya Undang-Undang
Pokok Agraria, Isi Dan Pelaksanaanya. Jakarta : Djambatan.
Purnamasari,
Irma Devita. 2010. Kiat-Kiat Cerdas,
Mudah, dan Bijak Mengatasi Masalah Hukum Pertanahan. Bandung : Kaifa PT
Mizan Pustaka.
Santoso,
Urip. 2010. Pendaftaran dan Peralihan Hak
Atas Tanah. Jakarta: Kencana.
Sitorus, Oloan dan H.M.Zaki Sierrad.
2006. Hukum Agraria Di Indonesia Konsep Dasar
Dan Implementasi. Yogjakarta : Mitra Kerja Tanah Indonesia.
Sumarjono,
Maria SW. 2001. Kebijakan Pertanahan
Antara Regulasi dan Implementasi. Jakarta : Buku Kompas.
Sutiknjo,
Imam. 1990. Politik Hukum Agraria. Jogjakarta : Gajah Mada University
Press.
Zein,
Ramli. 1995. Hak Penggelolaan Dalam Undang-Undang Pokok Agraria. Jakarta
: Rineka Cipta.
Undang-Undang
Nomor 5 Tahun 1960 Tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria.
[1] Ramli Zein, Hak Penggelolaan
Dalam Undang-Undang Pokok Agraria, (Jakarta : Rineka Cipta, 1995), hlm 2.
[2]
Imam Sutiknjo, Politik Hukum Agraria,
(Jogjakarta : Gajah Mada University Press, 1990), hlm 35.
[3]
Ali Achmad Chomzah,
Hukum Pertanahan Seri Hukum Pertanahan I
Pemberian Hak Atas Tanah Negara Seri Hukum Pertanahan II Sertifikat Dan
Permasalahannya, (Jakarta : Prestasi Pustaka, 2002), hlm 31.
[4]
Irma Devita Purnamasari, Kiat-Kiat
Cerdas, Mudah, dan Bijak Mengatasi Masalah Hukum Pertanahan, (Bandung : Kaifa
PT Mizan Pustaka, 2010), hlm 6.
[5]
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 Tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria.
[6]
Ali Achmad Chomzah, Op.Cit, hlm 32.
[7]
Oloan Sitorus dan
H.M.Zaki Sierrad, Hukum Agraria Di
Indonesia Konsep Dasar Dan Implementasi, (Yogjakarta : Mitra Kerja Tanah
Indonesia, 2006), hlm 137.
[8] Ibid, hlm 142.
[9] Ali Achmad Chomzah, Op.Cit, hlm
43.
[10]
Maria SW Sumarjono, Kebijakan Pertanahan
Antara Regulasi dan Implementasi, (Jakarta : Buku Kompas, 2001), hlm 114.
[11]
Ali Achmad Chomzah, Op.Cit, hlm 44.
[12]
Oloan Sitorus dan
H.M.Zaki Sierrad, Op.cit, hlm 150.
[13] Ali Achmad Chomzah, Op.Cit, hlm 1.
[14]
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 Tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria.
[15]
Urip Santoso, Pendaftaran dan Peralihan
Hak Atas Tanah, (Jakarta: Kencana, 2010), hlm 113.
[16]
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 Tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria.
[17] Boedi Harsono, Hukum Agraria
Di Indonesia Sejarah Pembentukannya Undang-Undang Pokok Agraria, Isi Dan
Pelaksanaanya, (Jakarta : Djambatan, 2003) , hlm. 277.
[18]
Ali Achmad Chomzah, Op.Cit, hlm 55.
[19]
Oloan Sitorus dan
H.M.Zaki Sierrad, Op.cit, hlm 155.
[20]
Ibid, hlm 156.
[21]
Ibid, hlm 157.
[22] Boedi Harsono, Op.cit, hlm 274-275.
[23] Ibid, hlm 160.
[24]
Ali Achmad Chomzah, Op.Cit, hlm 56
0 Response to "MAKALAH HUKUM AGRARIA, Peralihan Hak-Hak yang Dimiliki oleh PT Kereta Api Indonesia (KAI Persero)"
Post a Comment